Mahasiswa Papua di Makassar: HMNS Sebagai Solusi, Tolak Otsus dan Tutup PT Freeport

Awal Nur
Awal Nur

Selasa, 01 Desember 2020 23:20

Doa bersama Mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Lanto Dg Pasewang, Makassar, Selasa, (1/12/2020).
Doa bersama Mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Lanto Dg Pasewang, Makassar, Selasa, (1/12/2020).

TROTOAR.ID, Makassar – Forum Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat Papua (FSM-PRP) yang di dalamnya  tergabung Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Makassar, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Asosiasi Mahasiswa Papua Tengah Papua se-Indonesia (AMP TPI) Makassar.

FSPRP pada Selasa, 1 Desember 2020 tadi, menggelar ibadah dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Bangsa West Papua, kemudian menyampaikan pernyataan sikap bersama yang diikuti kurang lebih 50 orang di Asrama Mahasiswa Papua di Jl. Lanto Dg Pasewang, Kota Makassar. Selasa, (1/12/2020) siang.

“Tujuan kami adalah memperingati Hari Kemerdekaan Bangsa West Papua yang ke-59,” kata Ketua AMP TPI, Demis Tabuni.

Demi menjelaskan, Bangsa West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia tak mau mengakuinya dan menganggapnya tak lebih dari boneka bentukan Belanda.

“Pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno lantas melakukan aneksasi wilayah West Papua melalui program Trikora. Serangkaian operasi militer mengejawantah,” kata dia.

Dalam pernyataan sikapnya, ia mengatakan bahwa saat pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949, West Papua merupakan koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya.

“West Papua masih berada di bawah kuasa Belanda yang menjanjikan dekolonisasi setidaknya sampai Indonesia melakukan upaya-upaya penggabungan tanah Papua. 

Sambung Demi, pasca Trikora, Belanda yang semestinya bertanggung jawab dan berjanji untuk melakukan dekolonisasi malah menandatangani Perjanjian New York (New York Agreement) terkait sengketa wilayah West New Guinea pada tanggal 15 Agustus 1962 dengan tanpa melibatkan rakyat West Papua.

“Perjanjian tersebut hanya melibatkan 3 pihak diantaranya, Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat sebagai penengah. Sekalipun terang sungguh bahwa perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat West Papua,” imbuhnya.

Menurutnya, perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West New Guinea ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal; Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara, Pasal 12 dan Pasal 13 mengatur proses transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

“Di tahun 1963, ketika pemerintah Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional.

Hak itu diakui oleh Indonesia, kata Demis, dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua.

Dia menyebut keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.

Demi menceritakan bahwa satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 dengan hanya melibatkan 0,2% dari populasi di West Papua dalam pengambilan suara, itu pun dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia.

“Kredo sebagai musyawarah untuk mufakat dipakai Indonesia untuk melegitimasi pelaksanaan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta pelanggaran HAM berat,” kata Demis.

Selain itu, Ketua AMP Makassar, Marko Pahabol juga menjelaskan, hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut dicatat di Sidang Umum PBB lewat Resolusi 2504 (XXIV).

Menurut dia, tidak disebutkan bahwa Pepera telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement.

“Tidak disebutkan bahwa prosesnya memenuhi standar penentuan nasib sendiri seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Sehingga, penentuan nasib sendiri lewat Pepera itu tidak sah,” ungkapnya.

“Dan oleh sebab tidak sahnya proses penentuan nasib sendiri itu, maka West Papua juga bukanlah bagian sah dari Indonesia. West Papua tetaplah teritori tak berpemerintahan sendiri dan kini sedang berada di bawah pendudukan,” tegasnya.

Marko mengklaim bahwa teror, intimidasi, diskriminasi rasialis, penangkapan, penculikan, penahanan, penembakan, pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi sampai sekarang.

Bahkan kata dia, verbagai operasi militer di West Papua telah menelan banyak korban. Penutupan akses jurnalis, pembatasan internet, dan penyebaran disinformasi dilakukan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di West Papua.

“Aparat juga menyiksa dan melakukan usaha pemerkosaan terhadap tahanan politik. Wilayah West Papua dibagi-bagi seperti kue. Otonomi khusus hanyalah gula-gula yang tak menjawab persoalan keadilan bagi bangsa West Papua. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia,” kata dia.

“Di hari deklarasi kemerdekaan Bangsa West Papua ini, kami menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua, mengajak rakyat Indonesia untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, dan menyatakan sikap politik kami kepada pemerintah Republik Indonesia, Belanda dan PBB,” tegas dia.

Marko menegaskan dalam pernyataan sikapnya, berikan Hak Menentuan Nasib Sendiri (HMNS) sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua dan tolak otonomi khusus (Otsus) jilid II.

“Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua dan Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua, serta hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia,” tegas Marko.

Ia juga mendesak agar dibebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat dan menolak Daerah Otonomi Baru di West Papua

Bahkan FSM-PR juga meninta agar ditutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh dan tolak pengembangan Blok Wabu.

“Usut tuntas pelaku penembakan pendeta Jeremiah Zanambani. Dan tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM. Juga hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri,” tegasnya.

Marko juga mendesak agar dihentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.

“Kami juga menuntut cabut ombibus law,” tutupnya.

(Al/Hms)

 Komentar

Berita Terbaru
Politik29 Maret 2024 04:22
Partai NasDem Sulsel Siapkan Arham Basmin Sebagai Calon Kuat di Pilkada Luwu
Dalam persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, Partai NasDem di Provinsi Sulawesi Selatan telah menegaskan akan mengusung kader inte...
News28 Maret 2024 22:04
PJ Bupati Luwu Serahkan LKPD TA 2023 ke BPK
Pj. Bupati Luwu, Muh. Saleh, menyerahkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) (Unaudited) T.A. 2023 kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perw...
Politik28 Maret 2024 20:16
NasDem Siapkan Fatmawati Rusdi Sebagai Calon Walikota Makassar di Pemilihan 2024
Partai NasDem telah menyiapkan satu nama yang akan didorong maju dalam Pemilihan Walikota Makassar 2024. Nama tersebut adalah Fatmawati Rusdi....
Metro28 Maret 2024 19:39
PD Tidar Sulsel Menggelar Acara Buka Puasa Bersama Ratusan Anak Yatim
Pengurus Daerah Tidar yang juga sayap partai Gerindra menggelar buka puasa bersama ratusan anak yatim di hotel Remcy Makassar ...