Makassar, Trotoar.id — Pemerintah hingga saat ini belum berhasil mewujudkan tujuan yang tercantum dalam berbagai kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan agraria.
Menurut Ahmad Yusran, salah satu permasalahan utama adalah kerusakan SDA yang terjadi akibat praktik mafia tanah yang berjalan dengan sah.
“Kerusakan yang terjadi pada SDA, seperti yang kita saksikan, sering kali dimungkinkan oleh praktek mafia tanah yang merugikan masyarakat,” ujar Yusran.
Namun demikian, Yusran mengingatkan bahwa dengan adanya Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Nomor 63 Tahun 2023, yang membentuk tim percepatan reformasi hukum, ada harapan untuk mengatasi masalah ini.
Keputusan tersebut memandatkan pembentukan empat kelompok kerja, salah satunya yang membidangi isu agraria dan SDA.
Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan agraria dan SDA adalah ketidakadilan dalam hak kepemilikan dan pengelolaannya. “Korupsi menjadi salah satu penyebab utama.
Perizinan yang tidak transparan sering kali menimbulkan konflik, terutama yang melibatkan kelompok-kelompok rentan, termasuk masalah keadilan gender dan kepentingan antar generasi,” lanjut Yusran.
Selain itu, rendahnya kapasitas pemerintahan daerah, akibat sentralisasi kewenangan, juga mempengaruhi efektivitas pengelolaan SDA di tingkat nasional.
Hal ini, menurut Yusran, juga menyebabkan lemahnya perlindungan terhadap pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, termasuk pulau terluar.
Sebagai solusi, Yusran mengusulkan kebijakan yang dapat menjamin pemerataan hak atas agraria dan pengelolaan SDA yang adil bagi seluruh masyarakat.
“Penyelesaian konflik pertanahan dan SDA harus menjadi prioritas. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah implementasi kebijakan satu peta, yang melibatkan semua sektor untuk menyelesaikan konflik dan memastikan akuntabilitas dalam pengelolaan SDA,” jelasnya.
Yusran juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia, khususnya yang berhubungan dengan hak atas lingkungan hidup yang sehat.
“Upaya peningkatan perlindungan pembela hak asasi manusia, terutama mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik, harus menjadi bagian dari solusi,” tambahnya.
Untuk itu, Yusran mendorong optimalisasi satgas pemberantasan mafia tanah dan korupsi SDA yang harus bertanggung jawab dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta mencegah hilangnya potensi pendapatan negara.
Disisi lain, dia juga menyoroti permasalahan koordinasi antara pemerintah daerah dan kantor ATR/BPN yang cenderung lebih mengutamakan pencapaian administratif daripada hasil yang nyata di lapangan.
Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan dalam upaya perbaikan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Reformasi hukum terkait pengelolaan agraria dan SDA juga perlu memperhatikan dampak sentralisasi kewenangan yang mengurangi inisiatif pemerintah daerah.
“Padahal, kerusakan SDA yang terjadi langsung dirasakan oleh masyarakat daerah. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 yang mengizinkan pemanfaatan hasil sedimentasi laut harus dibatalkan, karena eksploitasi sebelumnya telah merusak lingkungan hidup,” tegas Yusran.
Terakhir, Yusran juga mengingatkan pentingnya perhatian terhadap isu yang telah menjadi perhatian publik, seperti ilegalitas dan korupsi yang melibatkan aparat hukum serta mafia tanah.
“Pembiaran terhadap kegiatan ilegal yang melibatkan aparat hukum dan mafia tanah harus segera dihentikan, dan penanganannya harus menjadi prioritas kebijakan,” pungkasnya.
Komentar