Makassar, Trotoar.id – Industri pariwisata Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar, mengalami tekanan signifikan akibat kebijakan pemerintah yang menerapkan efisiensi anggaran hingga 50 persen.
Hal ini terungkap dalam diskusi “Tantangan dan Peluang Industri Pariwisata Sulsel 2025” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel di Hotel Mercure Makassar, Sabtu (15/3/2025).
Dalam forum tersebut, sejumlah pelaku industri mengungkapkan bahwa kebijakan efisiensi telah menggerus pendapatan sektor pariwisata hingga menyerupai kondisi masa pandemi Covid-19.
Ketua DPD Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Sulsel, Didi Leonardo, menyatakan:
“Efisiensi ini langsung terasa dampaknya. Kita kembali seperti tiga tahun lalu,” ujarnya.
Menurut Didi, agen travel yang tergabung dalam ASITA Sulsel kini sangat bergantung pada segmen umrah, berbeda dengan sebelumnya yang mendapatkan pemasukan signifikan dari perjalanan dinas pejabat pemerintah. Ia menambahkan,
“Sebelumnya, wisatawan masuk ke Sulsel untuk mengeksplorasi destinasi pariwisata, tapi kini mereka lebih banyak datang untuk urusan meeting, sehingga pemasukan dari segmen pariwisata turun drastis.”
General Manager Hotel Mercure Makassar, Wiwied Nurseka, menyoroti penurunan okupansi kamar akibat efisiensi anggaran.
“Di perhotelan, kondisi seperti tiga tahun lalu. Saat lebaran, okupansi biasanya mencapai 90 persen, namun year on year telah turun 25 persen,” jelasnya.
Menurut Wiwied, hotel kini lebih bergantung pada tamu dari sektor swasta, padahal selama ini 85 persen pendapatan berasal dari pelanggan dari instansi pemerintah.
Ia pun mengungkapkan bahwa pasar corporate masih jauh lebih kecil dibandingkan sektor pemerintah, sehingga persaingan antar hotel menjadi semakin ketat.
Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Makassar, Andi Hadi Ibrahim Baso, mengharapkan kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat tidak berlangsung lama.
Menurutnya, perekonomian Makassar sangat bergantung pada sektor perhotelan dan pariwisata, yang juga merupakan salah satu sumber pendapatan pajak utama kota ini.
“Kita berharap kebijakan ini tidak lama. Saya melihat mungkin hanya berlangsung satu tahun seperti saat pandemi Covid-19,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi momentum bagi pelaku industri pariwisata dan perhotelan untuk menyuarakan harapan agar kebijakan efisiensi segera disesuaikan, mengingat dampak negatif yang terjadi telah menyeret sektor pariwisata kembali ke kondisi yang mirip masa pandemi.
Pemerintah dan pelaku usaha kini diharapkan dapat menemukan solusi agar industri pariwisata Sulsel dapat pulih dan kembali berkembang.
Komentar