MAKKAH & MADINAH — Ibadah haji semestinya menjadi momen puncak spiritual bagi setiap Muslim.
Namun bagi sebagian jemaah haji lansia asal Indonesia, perjalanan suci ini justru menjadi pengalaman penuh tantangan dan keprihatinan.
Pasalnya, buruknya pelayanan di Madinah dan Makkah membuat para lansia harus berjibaku dengan kondisi fisik dan sistem pelayanan yang belum ramah terhadap kelompok rentan.
Keluhan dari berbagai kloter terus bermunculan, terutama yang membawa jemaah lanjut usia.
Masalah paling mencolok adalah keterlambatan transportasi antar lokasi ibadah dan hotel.
Tak jarang, para lansia terpaksa berdiri atau duduk berjam-jam menunggu bus jemputan di bawah panas terik matahari.
“Ibu saya sudah tua, tidak kuat berdiri lama. Tapi kami harus tunggu bus hampir dua jam di pelataran parkir Masjidil Hatam,” ungkap Nurhayati, jemaah asal Sulawesi Selatan.
Selain transportasi, persoalan konsumsi menjadi keluhan serius. Banyak jemaah lansia mengaku makanan yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh mereka.
Akibatnya, mereka harus berupaya sendiri mencari makanan ringan seperti roti atau mi instan agar bisa bertahan menjalani aktivitas ibadah.
Meski pemerintah menggalakkan program Haji Ramah Lansia, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan.
Fasilitas kesehatan dan akses terhadap layanan medis sangat terbatas, terlebih saat kondisi darurat.
Sejumlah jemaah bahkan dilaporkan mengalami kelelahan berat dan dehidrasi hingga harus dirawat di rumah sakit Arab Saudi karena terlambat ditangani.
“Banyak lansia kesulitan mendapat kursi roda atau pendamping saat thawaf dan sa’i. Kondisi ini sangat memprihatinkan,” ujar seorang petugas kloter yang enggan disebutkan namanya.
Buruknya koordinasi antara petugas kloter, sektor, dan tim medis menjadi persoalan utama.
Banyak keluarga jemaah mengeluhkan lambannya respons dan informasi yang tidak jelas terkait kebutuhan lansia.
“Kami tahu para petugas sudah berusaha, tapi banyak hal seharusnya bisa dicegah jika koordinasi lebih rapi,” ujar Ahmad, keluarga jemaah lansia dari Makassar.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan mendalam. Lansia adalah kelompok paling rentan dan seharusnya mendapatkan prioritas utama dalam pelayanan haji.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama dan tim pengawas haji diminta segera melakukan evaluasi menyeluruh dan menindak sistem yang membuat kekacauan ini terus berulang.
“Ibadah haji adalah pengalaman sekali seumur hidup. Jangan sampai jemaah, apalagi lansia, menjadi korban manajemen yang buruk,” tegas seorang pengamat haji nasional.
Tragedi pelayanan ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah dan seluruh pihak terkait.
Sudah saatnya ada transformasi menyeluruh pada sistem pelayanan haji, khususnya untuk jemaah lansia dan penyandang disabilitas.
Ibadah haji tidak hanya soal melengkapi rukun, tapi juga bagaimana negara menjamin kenyamanan, keamanan, dan martabat jemaah selama di Tanah Suci.
Komentar