Ada Apa di Balik Praktik Deposito Dana Daerah di Perbankan?
Trotoar.id — Di tengah harapan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik, isu pengendapan dana pemerintah daerah di perbankan kembali mencuat.
Dana yang seharusnya segera dibelanjakan untuk pembangunan, justru disimpan dalam bentuk deposito berjangka.
Baca Juga :
Praktik ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah penempatan dana tersebut murni strategi manajemen kas, atau terdapat motif ekonomi lain yang menguntungkan pihak tertentu di luar mekanisme resmi?
Secara normatif, pemerintah daerah memang diperbolehkan menempatkan kas daerah di bank.
Namun yang dipersoalkan publik bukan pada boleh atau tidaknya, melainkan pada durasi, motif, dan transparansı bunga yang dihasilkan.
Saat dana publik “ditidurkan” dalam bentuk deposito, realisasi belanja menjadi lambat.
Efeknya langsung dirasakan masyarakat lewat keterlambatan pembangunan infrastruktur, rendahnya serapan anggaran bantuan sosial, dan pelayanan publik yang tersendat.
Berdasarkan data perbankan saat ini, bunga deposito jangka pendek bergerak antara 2–3 persen per kuartal.
Artinya, penempatan dana Rp1 triliun selama tiga bulan dapat menghasilkan bunga sekitar Rp27 miliar.
Angka ini bukan kecil, terlebih jika akumulasi dana deposito berlangsung sepanjang tahun anggaran.
Di sinilah titik rawan penyimpangan dimulai. Apakah bunga tersebut tercatat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), atau justru berhenti di meja elit kebijakan?
Praktik ini berpotensi melahirkan moral hazard. Logikanya sederhana: semakin lama dana didepositokan, semakin besar bunga yang diperoleh.
Jika tak transparan, muncul insentif untuk menunda pembangunan demi memupuk keuntungan bunga.
Pada akhirnya, PAD tidak bertumbuh secara sehat karena bukan bersumber dari produktivitas ekonomi, tetapi dari idle cash yang seharusnya dibelanjakan untuk masyarakat.
Sejumlah laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di beberapa daerah juga mengungkap tingginya kas mengendap dalam kisaran miliaran hingga triliunan rupiah pada akhir tahun anggaran.
Polanya hampir seragam: serapan rendah, dana tidur di bank, lalu bunga tidak sepenuhnya tercatat.
Ini membuka ruang dugaan adanya “pihak ketiga” atau broker kebijakan yang ikut menikmati keuntungan.
Padahal, setiap rupiah dari bunga deposito adalah uang publik. Jika transparan, ia harus masuk sebagai PAD tercatat, terverifikasi, dan digunakan kembali untuk program publik.
Namun jika tidak, bunga tersebut berpotensi berubah menjadi rente politik.
Ironisnya, masyarakat sebagai pemilik dana justru tidak pernah mengetahui berapa besar bunga yang diperoleh dan ke mana alirannya.
Dalam konteks tata kelola keuangan modern, transparansi bukan lagi pilihan, tetapi kewajiban konstitusional. Pemda harus menjawab dua pertanyaan fundamental:
- Berapa besar dana yang didepositokan?
- Apakah bunga tercatat sebagai pendapatan resmi daerah?
Jika jawaban atas dua pertanyaan ini tidak tersedia secara terbuka, maka wajar jika publik curiga bahwa uang rakyat diperlakukan sebagai aset pribadi mereka yang berkuasa.
Ke depan, diperlukan mekanisme audit bunga deposito yang dilaporkan secara berkala ke publik.
Sebab, tanpa pengawasan, deposito dana publik bisa berubah menjadi ruang sunyi tempat konflik kepentingan disembunyikan. Semakin besar nilainya, semakin rentan ia dipolitisasi.
Persoalan ini akhirnya tidak lagi semata teknis fiskal, tetapi soal etika dalam mengelola uang rakyat.
Pemerintah daerah tidak hanya dituntut membelanjakan anggaran, tetapi memastikan bahwa setiap bunga yang timbul dari dana publik kembali ke publik bukan berhenti di saku segelintir orang.






Komentar